Pada tanggal 1 Oktober 2012,
merupakan hari yang paling WOW bagi gue. kenapa? hari itu adalah pertama
kalinya gue terlibat secara langsung demo mahasiswa. Demo ini bertemakan
"Evaluasi Kinerja DPR selama 3 tahun).
Seperti yang kita ketahui, DPR
adalah Dewan PERWAKILAN Rakyat. Kata Perwakilan itulah yang harus kita
tekankan. DPR yang harus mewakili rakyat, DPR yang harus menampung aspirasi
rakyatnya, DPR yang mestinya membela rakyat. Tapi apa itu ada? Sedikitpun tak
ada respon positif yang nyata dari DPR, semua hanya drama hebat yang manis
dengan arah cerita yang berujung penderitaan.
Inilah beberapa point
permasalahan, mengenai kegagalan DPR sebagai wakil rakyat :
1. Studi banding anggota DPR yang
tidak berbuah manis pada rakyat, melainkan hanya dmanfaatkan untuk sekedar
JALAN-JALAN
Penjelasan Masalah :
·
Salah satu komisi yang akan melakukan kunjungan kerja itu adalah Komisi
VIII. Komisi DPR yang membidangi masalah agama, sosial, dan pemberdayaan
perempuan ini akan melakukan kunjungan kerja ke Denmark dan Norwegia dalam
rangka mencari masukan guna menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU)
Kesetaraan Gender.
·
Selain Komisi VIII, Komisi I juga berencana melakukan kunjungan kerja ke
empat negara, yaitu Republik Cek, Polandia, Afrika Selatan, dan Jerman. Komisi
I berdalih kunjungan kerja ini dalam rangka mengunjungi Kedutaan Besar Republik
Indonesia di negara-negara itu dan Kementerian Pertahanan Jerman terkait
informasi pabrikan tank Leopard.
Hal ini justru sangat merugikan
rakyat, dan malah bertolak belakang kepada
Kebijakan penghematan APBN yang saat ini digalakkan pemerintah , yang
berdampak pada kenaikan BBM.
Beberapa pihak kontrsproduktif pun sangat kecewa dengan sikap para
bapak-ibu yang ada di DPR.
Bahkan, Menko Perekonomian Hatta Rajasa turut menyoroti tingkah laku
anggota DPR yang gemar melakukan perjalanan dinas dan studi banding ke luar
negeri.
Solusi :
Menurut kami, akan lebih baik jika studi banding yang selama ini dilakukan
DPR, dilakukan dengan teknologi internet saja. Selain menghemat biaya, praktis,
dan dapat lebih cepat menghasilkan. Daripada harus ke luar negeri langsung dan
pulang tanpa keputusan pasti tentang arah negeri ini.
2.
Selanjutny,
kewenangan besar yang dimiliki DPR dewasa ini secara tidak langsung telah
membuat para anggota dewan cenderung bersikap acuh tak acuh terhadap aspirasi
publik.
Penjelasan : Sebagaimana kita
ketahui bersama, melalui empat tahap amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
kini DPR telah menjelma menjadi sebuah lembaga yang memiliki kewenangan sangat
besar. Hal itu antara lain terlihat jelas dalam beberapa pasal hasil amendemen,
seperti Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20 A, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 A, dan
Pasal 22 B.
Dari beberapa point penjabaran diatas, tentunya kita dapat mengerti mengapa
sampai saat ini. Karena itu, hemat penulis, segala upaya untuk meini DPR belum
mendapat tanggapan memuaskan dari rakyat.
Dan satu lagi,
Melakukan koreksi atau pebenahan pada pihak DPR tidak akan membuahkan hasil
maksimal, jika koreksian itu tidak diikuti oleh pebenahan dlaam tubuh partai
politik.
Jika kita analisis lagi, sikap memprihatinkan para anggota DPR yang selama
ini dipertontonkan dengan jelas kepada rakyat sangat terkait edengan masalah
rekrutmen partai politik. Bukan perkara sulit untuk tampil menjadi seorang
anggota legislatif di negara yang masih memuja euforia politik seperti
Indonesia saat ini.
Keengganan partai politik untuk menjadikan aspek intelektualitas,
kompetensi, dan etika sebagai parameter utama perekrutan calon legislatif
(caleg) turut memberikan andil bagi terpilihnya orang-orang yang tidak memiliki
etika dan kualitas kompetensi memadai sebagai anggota legislatif. Hal itu diperparah
dengan minimnya informasi tentang rekam jejak (track record) caleg
bersangkutan.
Padahal, informasi mengenai rekam jejak caleg sungguh sangat berguna bagi
publik untuk melakukan evaluasi dan penilaian apakah layak untuk menitipkan
amanah pada caleg yang bersangkutan. Di samping itu, publik tentu lebih mudah
menguji janji kampanye si caleg bila mengetahui jejak rekam caleg bersangkutan
selama ini.
Kesalahan partai politik dalam proses perekrutan caleg inilah yang kemudian
mendorong munculnya gugatan publik terhadap kualitas intelektualitas,
kompetensi, dan etika para anggota dewan.
Realitas itu kian menegaskan penilaian publik selama ini bahwa partai
politik lebih cenderung mengutamakan aspek ketokohan dan kemampuan finansial
semata dalam melakukan perekrutan caleg.
0 komentar:
Posting Komentar